Sabtu, 09 Juli 2011

Jakarta Kota Konsumtif

Apa pendapat Anda melihat baliho seperti di samping, yang sekarang ini banyak bertebaran di jalan-jalan utama Jakarta?

Sebagian orang, termasuk saya, tidak menyukainya, karena menampilkan anak-anak terasa tidak etis. Selain itu, mengapa harus ada sosok gubernur? Memangnya untuk belanja masyarakat perlu direstui gubernur?

Jaket kulit, yang rupa-rupanya memang sedang jadi status simbol para politisi (dan beberapa pengacara), terasa tidak peka, ketika dunia sedang tergugah oleh kasus-kasus kekerasan terhadap hewan. Jaket kulit itu citra ketidakberadaban.

Bukan sekali ini saja orang mempersoalkan gemarnya gubernur Jakarta tampil dalam segala rupa iklan. Sebelumnya kita ingat ada kasus baliho raksasa setinggi belasan lantai dengan wajah gubernur yang juga sebesar belasan lantai di dinding Balai Kota. Ternyata gejala gemar mejeng di ruang publik ini sedang menjangkiti juga semua kota dan provinsi di Indonesia — kecuali beberapa kota.


Di Jakarta ini banyak warga merasa tidak ada prestasi yang dapat dibanggakan. Tanpa prestasi kok gubernurnya mau mejeng melulu? Dari sudut pandang pencitraan, menurut saya dampaknya malah negatif: Gubernur jadi tampak konyol. Tapi, mungkin bagi yang mencintainya dan menasihatinya, tampil seperti itu membuat Gubernur tampak lucu dan keren.

Singapore Great Sale 2011 menampilkan iklan tentang barang-barang, tanpa wajah perdana menteri, apalagi anak-anak. Terus terang, langsung, tanpa menampilkan hal yang tidak relevan.

Jakarta Great Sale 2011 ini membuat sebal beberapa orang tua yang sayang anak, karena jadi langsung teringat banyaknya mal — ada 170 di seluruh Jabodetabek — yang selalu menimbulkan macet, turunnya air tanah, dan mungkin masalah-masalah lainnya. Bahkan sudah ada yang membuat gerakan "liburan tanpa ke mal" dan bahkan ingin stop pembangunan mal baru.

Tetapi, pokok soalnya bukan hanya pada mal, yang menurut penelitian teman saya, Suryono Herlambang, hampir semuanya melampaui peraturan yang diizinkan pada rencana tata kota. Pokok soalnya adalah bahwa semua itu membuat Jakarta seolah konsumtif semata, sementara fasilitas mendasar yang diperlukan masyarakat untuk produktif (misalnya angkutan umum dan trotoar yang baik) justru tidak terpenuhi.

Jakarta Great Sale dan mal itu seperti makanan cepat saji, kata Suryono Herlambang. Mereka bikin kenyang tapi tidak sehat dan mengalihkan perhatian dari apa yang mendasar lebih penting, apa yang sehat dan produktif.


Marco Kusumawijaya adalah arsitek dan urbanis, peneliti dan penulis kota. Dia juga direktur RujakCenter for Urban Studies dan editor http://klikjkt.or.id
Sent from BlackBerry® on 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar